
Oleh :
Agustinus Vicky/Dosen Fisipol UGM
Di dalam dunia tak adil dan timpang ini, jangan sekali-kali mengabaikan, apalagi meniadakan cerita konspirasi. Dari cerita itu, bermula prasangka yang wajar, agar tetap waras, terus berpikir dan berpihak. Di dalam dunia kejahatan dan kebaikan bisa bertukar tempat, konspirasi adalah pengantar cerita untuk menyusun cerita besar atau wiracarita, tentang sejarah panjang sebuah kejadian, sebelum akhirnya hadir sebagai bencana. Karena melalui cerita konspirasi, kita mulai mengetahui dan merasakan bahwa peristiwa dunia selalu membentuk riwayat hidup dan mati kita, jauh atau dekat, cepat atau lambat.
Pandemi Covid 19, tahun 2020 ini, sedang kita alami, kita rasakan, sebagai bencana. Sama sekali berbeda dari sumber bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami, pandemi ini tidak disebabkan virus semata. Tetapi dimulai, berkembang dan diakhiri oleh tarik-menarik tak tentu arah dari seteru merebut dan menjaga kuasa, antar kekuatan global. Di atas papan catur geopolitik itu, virus dibajak, menjadi senjata saling membunuh di antara penguasa dunia.
Sebagaimana akan dibahas di akhir tulisan, pandemi Covid 19 bukan masalah medis, melainkan perkara biomedis. Tubuh, di dalamnya ada kematian dan kehidupan, diperebutkan, dijadikan matriks atau indeks politik. Pandemi pun tidak lagi ditentukan oleh pertarungan antara antibodi dan patogen, tetapi lebih ditentukan oleh seteru antara kekuatan globalis dan kekuatan populis. Untuk menentukan siapa yang harus terkapar, terbunuh dan terkubur di bulan November 2020, Donald Trump atau Joe Biden, populis atau globalis. Di atas papan catur itu pula, kita akhirnya mengerti dengan baik strategi dan taktik bertarung termasuk herd immunity, pembatasan berskala besar, dan lockdown.
Mengingat pentingnya seteru geopolitik dunia melalui pandemi ini, kita perlu menengok kembali sejarah dunia. Setidaknya dimulai sejak periode kolonial, tersambung dengan periode-periode sejarah berikutnya, sampai menghantar kita ke periode genting 2020. Di situ kita belajar menjadi rendah hati, bahwa perang menentukan riwayat dan hikayat setiap generasi. Bahwa kurban manusia selalu diperlukan dalam pertarungan, membentuk atau menghapus persekutuan geopolitik. Di atas piramida kurban manusia, di dalam sensasi rating-angka kematian, kita kembali ke titik nadir. Bahwa manusia bisa dan selalu lebih jahat dari patogen alam di muka bumi.
Pentingnya Cerita Konspirasi
Dalam situasi pandemi Covid 19, cerita konspirasi terbelah ke dalam dua arus kepentingan. Bagi arus pertama, konspirasi adalah bualan politik dari mereka yang sedang bertarung atau kalah dalam pertarungan. Ini paham konspirasi menurut yang menang atau berkuasa. Bahwa sebuah kejadian bersejarah, pandemi covid 19, terjadi begitu saja, tidak terencana dan akan berakhir dengan sendirinya. Tujuannya sangat jelas, supaya kita tidak bertanya, tidak paham kronologi, plot, aktor utama, pemeran pembantu, dan aktor antagonis. Terpenting, niat jahat tidak terungkap dan konsekuensi tidak dibahas tuntas atau dikondisikan menjadi urusan negara atau masyarakat terdampak semata.
Arus kedua, sebaliknya, membincangkan konspirasi untuk mendapatkan titik terang dari sebuah peristiwa yang telah menimbulkan kepanikan dan mengubah sejarah. Sebuah percobaan analisis, sekonyol apa pun, untuk tidak tersesat dalam satu narasi tunggal, cerita resmi, dari buku teks orang-orang berkuasa atau merebut kuasa. Paham ini menjadi senjata pengetahuan, bagi mereka yang menolak jadi penonton, menolak menjadi tumbal sejarah pertarungan kekuasaan.
Mengenali dua arus pikiran di atas, pilihan harus diambil secepatnya, sebelum terlambat dan mati dalam ketidaktahuan. Kita, orang-orang terkucilkan dan terdampak, tentu menolak dibohongi dan dipermainkan. Informasi melimpah, pertarungan sudah terbuka, dan kita pun sekarang lebih leluasa belajar dan berpendapat. Teknologi dan informasi yang dikontrol penguasa wacana sebaliknya kita gunakan mendeteksi konspirasi sistematis kekuatan global membajak pandemi Covid 19.
Sejarah dunia pun memberi kita pelajaran dan perbandingan peristiwa. Kita dapat bertolak dari cerita sejarah untuk semakin paham dengan pandemi Covid 19. Cerita konspirasi harus diberi konteks geopolitik dunia. Dari sana, tanpa kesimpulan pasti, pertanyaan baru dirumuskan lagi dan pengetahuan mendapat tempat dalam kebijakan dan diskusi publik. Komplikasi kepentingan adidaya dalam struktur dan sistem internasional hari ini mengingatkan kita pentingnya sejarah dan geopolitik.
Belajar dari Sejarah Kolonial dan Perang Dingin
Sejarah dunia bukan hanya sejarah berkuasa tapi juga sejarah perlawanan. Tarik menarik antara keduanya, itulah yang membentuk cerita setiap periode, satu atau lebih generasi. Dalam ingatan kita, sejarah kolonialisme sampai sejarah dunia dalam pandemi Covid 19, tak lebih dari pertarungan merebut, menguasai dan membebaskan tubuh, teritori dan sumber daya dari monopoli kebenaran atau kuasa ekonomi-politik tertentu. Dalam setiap periode sejarah modern itu, kehidupan dan kematian memiliki pengertian yang khusus. Demikian halnya dengan penderitaan dan kebahagian, atau kemajuan, kemunduran dan keterbelakangan.
Sejarah kolonial adalah cerita besar tentang penemuan benua-benua baru bagi Eropa yang bangkit dari gulita Abad Pertengahan dan memuja pencerahan bernama pengetahuan. Sekaligus cerita lima ratus tahun tentang genosida, perbudakan lintas benua dan penindasan di tanah terjajah. Kota-kota dagang bertumbuh di pesisir pantai kontinen bersalju dan London jadi pusat dunia, berbagi koloni dengan Lisbon dan Paris.
Di negeri jajahan, manusia dan ekonomi disetel ulang. Konsep waktu dan ruang pun bergeser, mengikuti pola perekonomian kolonial. Populasi dibagi ke dalam kelas-kelas baru, dimulai dari strata atas kulit putih, warga negara kelas dua kulit berwarna dan kelas inlander dari penduduk setempat atau didatangkan dari wilayah sekitar. Suatu model pengaturan ekonomi yang nantinya bertanggung jawab lahirnya masyarakat baru atau campuran, bernama penduduk asli, penduduk pribumi dan pendatang jauh. Tiga tipologi manusia yang melahirkan nasionalisme anti-kolonial sekaligus berperang saling meniadakan, merebut tampuk pemerintahan, di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, setelah kemerdekaan sampai hari ini.
Jurus utama kuasa kolonial adalah konsep ras, membentuk masyarakat dan ekonomi berbasis ras. Tidak ada perbudakan kolonial tanpa rasisme. Kolonialisme abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, adalah puncak kekejaman rasime di perkebunan, pabrik dan pertambangan. Amerika Serikat adalah ilustrasi terbaik sebuah negara koloni migran Eropa dari segala golongan, dibangun dengan meniadakan penduduk asli termasuk melalui pandemi penyakit dan ditopang ekonomi perbudakan kulit hitam sampai tahun 1960.
Sementara di Amerika Latin tak kalah bengisnya, menghasilkan dua jenis ras, murni dan bercampur, bertarung sampai hari ini dalam politik negara-negara selatan kontinen tersebut.Afrika tidak hanya dijajah, manusianya dikapalkan ke seberang Antlantik, menjadi budak lintas generasi. Bahkan Afrika Selatan baru dilepaskan dari model bernegara kolonial, apartheid, tahun 1994. Sementara Indonesia mengalami kekejaman tanam paksa, 1830-1870, sebelum akhirnya diakhiri dengan politik etis yang memberi insentif bagi nasionalisme anti-kolonial.
Lain halnya vietnam, lokasi strategis bagi geopolitik, baru berhasil mengusir perancis tahun 1954 sekaligus memasuki perang geopolitik blok komunis dan kapitalis sejak 1961 sampai 1975. Di ujung barat Asia, Palestina menjadi koloni kekejaman Israel sejak 1948 sampai hari ini. Sementara negara-negara di sekitarnya terbentuk saat kejayaan Otoman di Turki berakhir setelah Perang Dunia Pertama.
Rasisme, ekonomi-politik berbasis diskriminasi ras, membentuk apa yang disebut Barat dan Timur. Berlangsung produksi pengetahuan, jenis manusia dan masyarakat dengan ras sebagai matriks atau register biologis, ekonomi dan etis-politik sekaligus. Teori evolusi Darwin dibajak untuk membenarkan penindasan atas nama pencerahan di Timur dan kemakmuran ekonomi di Barat. Bahkan kitab suci ditafsir sesuai selera burjuis dan hasrat berkuasa. Timur adalah kegelapan, dikendalikan magis dan mitos, sementara Barat adalah cahaya, membawa perubahan dan peradaban. Dalam periode ini, biologi dan teologi disatukan menjadi bahasa kuasa, tak terbantahkan.
Di lain pihak, dalam periode kolonial ini, cerita Barat yang berdarah, perang silih berganti atas nama agama dan ekspansi kerajaan, sampai Perang Dunia I dan Perang Dunia II, tidak mendapat tempat dalam buku resmi sejarah dunia. Dengan kedok sebagai sejarah dunia, kebiadaban perang 3 abad, berebut membentuk Eropa dari dalam dirinya, digantikan cerita pencerahan, filsafat, sastra dan penemuan ilmiah. Etnologi dan antropologi dikerahkan, sebagai instrumen koleksi data dan analisis terhadap sistem budaya, ekonomi dan sosial masyarakat koloni. Sementara sosiologi muncul untuk memahami krisis sosial dari masyarakat ekonomi transisi di dalam Eropa dan psikologi-psikiatri untuk memahami dan mendisplinkan kegilaan dari masyarakat industrial baru.
Satu abad setelah Perang Napoloen mencabik-cabik kontinen ini, 1810-1815, Eropa berdarah dengan Perang Dunia I. Perang ini, 1914-1918 mengubah konstelasi imperium internal Eropa, menyeret masuknya Tsar dan Rusia dalam pertarungan itu. Pandemi Flu Spanyol mengakhiri perang, membunuh jutaan tentara di parit-parit pertahanan, yang akhirnya menjadi garis batas negera-negara baru. Dalam perang ini, Amerika Serikat bergabung dan membawa malapetaka pandemi ke negerinya sendiri. Sementara Lenin mendapatkan kesempatan emas melancarkan revolusi Bolshevik 1917 melahirkan Uni Soviet, blok geopolitik dunia sampai berakhirnya Periode Perang Dingin tahun 1989.
Dua dekade kemudian, 1939-1945, rasisme kolonial balik memakan tubuh Eropa dari dalam dirinya sendiri. Hitler dan Jerman yang dipermalukan perjanjian Versailles 1919, membangun kekuatan militer dan mulai menggasak Polandia September 1939. Berbekal aliansi dengan Spanyol dan Italia, Eropa ditaklukan dan Inggris disasar. Tapi perang sesungguhnya adalah pertempuran 4 tahun di wilayah Uni Soviet, disebut Front Timur, membunuh 24 juta penduduk dan tentara Stalin. Perang di front inilah, terutama di kota Stalingard, yang mengakhir ambisi ras unggul Hitler. Musim dingin dan penyakit membuat Jenderal Paulus dan tentara Nazi menyerah dan dimulai ekspansi Stalin dan Jenderal Georgy Zhukov balik menuju Berlin, membebaskan satu persatu negara menuju Jerman.
Amerika Serikat dan Inggris datang terlambat, atau setidaknya hanya mempercepat kejatuhan Jerman di front barat dan selatan yang tak sepenuhnya diperkuat Hitler. Amerika Serikat bergerak di dua front sekaligus, Eropa dan Asia. Serangan Pearl Harbour Desember 1941, membawa Franklin Roosevelt dan AS ke Asia sampai hari ini, dengan memukul mundur tentara Jepang dari Pasifik, dan menjatuhkan bom atom pertama kali di Hirosima dan Nagasaki, membunuh dua ratus ribu lebih penduduk tak bersalah. Kekalahan Jepang di Asia sepenuhnya tak terlepas dari perlawanan kaum nasionalis dalam negeri-negeri terjajah, tetapi terutama perlawanan rakyat China dengan 10 juta jiwa terbunuh, melemahkan logistik dan ketersediaan tentara bagi Kaisar Hirohito di berbagai kawasan termasuk Indonesia.
Dengan itu, Perang Dunia Kedua adalah peristiwa terpenting bagi sejarah dunia sampai hari ini. Bagi Eropa Kolonial dan bagi Koloni-koloni jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan. Tak terduga, Hitler merusak Barat kolonial-rasis dengan rasisme internal di dalam tubuh Eropa sendiri. Eropa kolonial yang berantakan1939-45, membuka peluang bagi terbentuknya kesadaran nasional di negeri-negeri terjajah. Tumbuh rasisme revolusioner, menggunakan ras atau bangsa sebagai konsep kemerdekaan dan konsolidasi perlawanan terhadap kekuatan kolonial yg sudah dilemahkan Hitler. Hadirnya Nippon di Asia tak lebih dari hitungan taktis, menaklukan koloni-koloni yang tak bertuan, dan memberi janji merdeka bagi kaum nasional yang sudah terbentuk, asalkan membantu Hirohito menghadang Jenderal Douglas MacArthur dan tentara AS dari Pasifik.
Koloni-koloni yang merdeka selama dan sesudah PD II merupakan produk dari proses geopolitik. Itulah sebabnya para pendiri negara-bangsa pasca kolonial memiliki pengetahuan sejarah dan geopolitik dunia pada masanya. Demikian halnya, terbentuknya Indonesia tidak terlepas dari kecerdasan Sukarno dan kesadaran gerakan nasionalis, memproklamirkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, setelah Jerman menyerah Mei 1945 dan Jepang mengakui kekalahannya 14 Agustus 1945. Proyek dekolonisasi berlangsung serempak di Asia dan Afrika, sampai memasuki periode Perang Dingin, antara blok Kapitalis dan blok komunis. Sementara negeri-negeri di Amerika Latin sebagian besar sudah terlebih dahulu merdeka di akhir abad ke-19.
Periode Perang Dingin, sangat panjang, mencakup 4 dekade, sejak Oktober 1945 PBB didirikan sampai bubarnya Uni Soviet oleh Gorbachev Desember 1991. Jerman dibagi dua, barat dan timur, sekaligus membagi Eropa mengikuti garis ideologi dan geopolitik tersebut. Blok Timur dikendalikan Kremlin, mencakup negara-negara yang dibebaskan Stalin dari NAZI, antara lain Jerman Timur, Polandia, Cekoslowakia, Bulgaria, Hungaria dan Rumania. Sementara Blok Barat dikendalikan Washington di seberang Antlantik, mencakup Jerman Barat, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Portugis, dan Belanda. Jelas, Eropa kembali terbelah dan ikut membelah dunia bersamanya. Sementara Jepang yang kalah perang tak lebih dari proksi Barat, dilucuti kekuatan militernya, sampai hari ini.
Periode perang ideologi dimulai, kendati pun Hak Asasi Manusia dideklarasikan tahun 1948. Berbagi hak veto lima negara pemenang tak lebih dari diplomasi sambil lalu, seraya memperkuat perkubuan di dunia dan memperkeruh pertarungan politik di negara-negara pascakolonial. Bukannya menghentikan perang dunia, sebaliknya, dunia dibuat berdarah dengan perang saudara dalam negeri di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Lalu disebut perang dingin, karena dua monster itu tak mau beradu kepala nuklir di muka bumi.
Perang ideologi bergolak di seluruh kawasan dunia. Amerika Latin memulai dengan Fidel Castro dan Kuba tahun 1959. Ideologi kiri itu menjalari separuh kontinen dan Amerika Serikat memulai politik junta militer, memasang pemerintahan bengis, menyelamatkan bisnis tanaman komoditas dan minyak. Argentina, Guetemala, Equador, Kolombia sampai Cili, Bolivia dan Argentina, menyimpan sejarah berdarah itu sampai hari ini dan berulang dalam pertarungan politik terkini. Termasuk peristiwa membahayakan dunia, tahun 1961, ketika Khrushchev dan Kennedy nyaris beradu rudal nuklir di Teluk Babi, antara Kuba dan Florida. Dari segi lain, Katolik Amerika Latin dibelah ke dalam pertarungan ideologis, antara hispanik kelas atas dan kelas pekerja, pertarungan yang terus berlanjut hari ini dalam kotak suara, kudeta miiter dan pemaksulan.
Di Asia Barat atau Timur Tengah, tarung ideologi menempuh dua periode berdarah. Dimulai dengan kudeta militer terhadap pemerintah sosialis-sekuler Mosaddegh di Iran tahun 1955. Kudeta terbuka ini dirancang CIA dan M16, serta menempatkan Reza Shah Pahlavi, aristoktat warisan Persia, sebagai presiden boneka sampai munculnya Khomeni dengan Revolusi Islam tahun 1979. Sebagian besar negara-negara Timteng adalah sekuler dan berorientasi sosialis. Membentuk Pan-Nasionalis Arabia, menghadang Israel yang berusaha meniadakan palestina, secara terbuka dan terselubung. Arab Saudi masih bersekutu dalam barisan ini. Dalam periode blok Arabia ini, Washington dan Kremlin, bermain aman, sampai kekuatan pelobi Israel AIPAC terbentuk 1963, berurat berakar dalam sistem politik AS satu dekade berikutnya dengan Perang Enam Hari 1967 dan Perang Ramadhan-Yom Kippur tahun 1973.
Kekalahan dalam perang 1973 itu mengubah secara dramatis tekstur politik negara-negara Arab, termasuk mengubah orientasi ideologis perlawanan Palestina, dari nasionalis PLO menjadi Intifada menuju Hamas. Kecewa dengan nasionalisme Arabia, aspirasi politik menghadirkan revolusi Islam dan Khoemeni di Teheran. Pahlevi diusir dari Iran dan kedutaan AS disandera selama 14 bulan, peristiwa geopolitik terpenting yang memalukan Jimmy Carter dan AS sampai hari ini. AS kemudian mendorong Saddam Husein dan mempersenjati Irak, berperang dengan Iran di perbatasan selama 8 tahun, 1980-1988. Sementara di Afganistan yang sekuler, pemerintah sosialis-komunis di Kabul meminta bantuan Uni Soviet menghadang Mujahidin dan Taliban yang disponsori Arab Saudi dan Amerika Serikat, selama 14 tahun, 1978-1992, sebelum akhirnya dimenangkan Mujahidin.
Berbede dari gejolak ideologis nasionalisme menuju Islamisme di Timteng, Indocina menjadi arena pertarungan terbuka antara Kremlin-Beijing dan Washington di Vietnam termasuk Laos dan Kamboja. Terusirnya Perancis dari Vietnam Utara oleh nasionalis-komunis 1957, mendorong Amerika Serikat terjung langsung ke hutan dan lembah, sejak 1961 pasca terbunuhnya Kennedy digantikan Lyndon Jhonson sampai pemerintahan Nixon menuju Ford tahun 1974. Perang geopolitik ini membunuh 2 juta penduduk Vietnam dan 56 ribu tentara AS.
AS terusir dari Indochina meski satu dekade sebelumnya bergembira setelah militer Indonesia yang disponsori dengan murah meriah berhasil menumbangkan PKI dan Sukarno anti--imperialisme yang bisa mengunci Australia, Singapura dan Malaysia.Terbunuh sekitar 500 ribu sampai 2 juta anggota dan simpatisan PKI, serta mengubah politik Indonesia dari negara pelopor aliansi geopolitik non-blok menjadi negara boneka blok Barat sampai tumbangnya Soeharto 1998.
Periode ideologis Perang Dingin dinyatakan berakhir dengan keputusan geopolitik penting di akhir abad ke--20 oleh Gorbachev dan Polit Biro tahun 1991. Mengubah Uni Soviet menjadi 14 negara otonom termasuk Rusia. Di perbatasan Eropa Timur terdapat Ukraina, Belarusia, Latvia, Estonia, Lituania, yang kemudian basis konflik EU-AS dan Rusia pada periode Global War on Terrorism sampai sekarang. Sementara di bagian selatan terdapat Kazakstan, Uzbekistan, Kyrgistan, Turkmenistan dan Tajikistan, yang menjadi basis konsolidasi China dan Rusia dalam periode GWOT sampai hari ini.
Perubahan di atas disambut gembira blok-Barat dan dimulai upaya memasukan negara-negara satelit ke dalam Uni Eropa dan aliansi militer NATO. Sementara pergolakan akhir perang dingin di Yugoslavia berujung seteru berdarah atas nama ras dan agama. Perang 4 tahun itu, 1991-1995, membagi negeri Josep Tito itu ke dalam 5 negara berdaulat, antara lain Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Makedonia dan belakangan Montenegro dan Kosovo. Perang ini nyaris mempertemukan AS dan Rusia dalam konflik terbuka.
Lain halnya di Afrika, akhir Perang Dingin membuka perang saudara antar suku di Rwanda 1994, Somalia 1992-3, Kongo 1998 dan berakhirnya pemerintahan Apartheid di Afsel 1994. Perang di Afrika tidak berpengaruh secara geopolitik tetapi memicu atensi internasional dengan tanggap krisis kemanusiaan. Patut dicatat sebagian Afrika selama Perang Dingin menjadi eksperimentasi pembangunan ekonomi blok-Barat dan terbukti gagal. Afrika ditinggalkan AS dan blok Barat yang lalu perlahan dikendalikan ekonomi China selama GWOT sampai hari ini, terutama setelah Libya, negara paling makmur dan pelopor Afrika bersatu dihancurkan AS dan NATO tahun 2011.
****